Kota Surabaya akhirnya masuk ke dalam daftar wilayah yang mengalami kenaikan harga setelah stagnan selama beberapa tahun terakhir. Lantas, properti di Surabaya yang seperti apa yang lebih prospektif? Apartemen atau rumah tapak?

Rumah.com Indonesia Property Market Index (RIPMI) mencatat ada tiga wilayah di kawasan metropolitan Surabaya atau Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) yang mengalami kenaikan harga properti pada kuartal kedua (Q2) 2021.
Ketiga wilayah tersebut, di antaranya Kabupaten Gresik, Kabupaten Bangkalan, dan Kota Surabaya. Gresik mencetak kenaikan harga properti tertinggi di Gerbangkertosusila pada kuartal kedua 2021, yaitu sebesar 4,53 persen dibanding kuartal sebelumnya (quarter-on-quarter/QoQ). Sedangkan, harga properti di Bangkalan mengalami kenaikan sebesar 2,15 persen secara kuartalan (QoQ).
Ketimbang dua wilayah lainnya, Kota Surabaya mencetak kenaikan harga paling kecil pada Q2 2021, yakni sebesar 1,79 persen dibanding kuartal sebelumnya. Kendati demikian, kenaikan harga properti di Surabaya pada kuartal ini merupakan sebuah capaian yang baik karena muncul setelah terjadi stagnasi selama 10 kuartal berturut-turut.
Sejak kuartal keempat 2018, indeks harga properti di Surabaya bertahan di angka 107,3. Memasuki masa pandemi COVID-19, indeks harga properti di Surabaya pun tak beranjak naik atau turun. Baru pada masa pemulihan ekonomi nasional, ketika stimulus sektor properti digelontorkan pemerintah secara jor-joran, harga properti di Surabaya mulai terdongkrak.
Stagnasi harga properti di Surabaya selama hampir tiga tahun itu sebenarnya masih dapat dikatakan bagus. Pasalnya, kota-kota besar lain di Pulau Jawa justru mengalami penurunan harga properti yang signifikan akibat pandemi COVID-19. Banyak kota yang mulai kehilangan peminat karena konsumen properti cenderung mencari hunian ideal di kawasan yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Dengan begitu, stagnannya harga properti di Surabaya juga dapat diartikan bahwa pandemi COVID-19 tidak memberi pengaruh signifikan terhadap produktivitas sektor properti di Surabaya.
Adapun peningkatan harga properti di Surabaya pada Q2 2021 bisa menjadi pendorong optimisme dan perputaran roda ekonomi lebih jauh lagi. Kenaikan harga ini menjadi harapan baru untuk mendorong penguatan ekonomi Kota Surabaya lewat sektor properti di tengah pandemi COVID-19.
Di sisi lain, kenaikan harga properti di Surabaya pada kuartal kedua 2021 sebenarnya dipengaruhi juga oleh fluktuasi suplai properti.
Berdasarkan data Rumah.com Indonesia Property Market Index (RIPMI), suplai properti di Surabaya pada Q2 2021 turun sebesar 3,02 persen dibanding kuartal sebelumnya (QoQ). Penurunan suplai ini adalah yang pertama sejak Q2 2020. Sepanjang masa darurat pandemi COVID-19, suplai properti di Surabaya terus tumbuh meski semakin lambat dan akhirnya turun pada Q2 2021.
Penurunan indeks suplai properti di Surabaya tersebut merupakan yang paling besar di kawasan Gerbangkertosusila. Wilayah lain yang juga turun suplai propertinya pada kuartal kedua 2021 hanyalah Kabupaten Mojokerto dengan penyusutan sebesar 1,11 persen secara kuartalan.
Dengan begitu, penurunan indeks suplai properti di Surabaya tampaknya memberikan dampak yang cukup besar terhadap kenaikan harga properti di Surabaya. Di sisi lain, gelontoran stimulus pemerintah untuk sektor properti juga mendongkrak permintaan dan harga properti di Surabaya.
Tabel 1.1 Kenaikan Harga Properti di Surabaya pada Q2 2021 secara kuartalan (quarter-on-quarter)
Kenaikan Harga Properti (QoQ) |
|
Gabungan |
1,79% |
Rumah Tapak |
2,03% |
Apartemen |
2,50% |
Kenaikan harga properti di Surabaya ternyata dirasakan berbeda oleh masing-masing segmen. Segmen apartemen di Surabaya justru mencatat peningkatan harga paling besar pada Q2 2021, yakni sebesar 2,5 persen secara kuartalan. Sementara itu, rumah tapak di Surabaya hanya mengalami pertumbuhan harga sebesar 2,03 persen.
Situasi yang dialami Surabaya ini ternyata jauh berbeda dengan Jakarta, padahal keduanya sama-sama pusat kegiatan di satu wilayah metropolitan. DKI Jakarta secara umum mengalami penurunan harga properti yang cukup signifikan di masa pandemi COVID-19. Jakarta Pusat menjadi wilayah yang terdampak paling parah karena harga rumah tapak dan apartemennya turun secara serempak.
Pakar properti menyebut pandemi COVID-19 membuat konsumen semakin senang mencari rumah tapak yang jauh dari pusat kota besar. Hal ini didorong oleh metode kerja dari rumah alias work from home (WFH) yang membuat masyarakat tak perlu lagi melakukan commuting ke kantor setiap harinya. Konsumen properti lebih leluasa mencari hunian ideal di kawasan yang tidak begitu padat dan sesak oleh permukiman penduduk. Akibatnya, pusat kota metropolitan ditinggalkan dan kota-kota kecil di pinggiran menjadi incaran utama para pemburu properti.
Namun, asumsi tersebut ternyata tidak berlaku di Kota Surabaya. Fenomena ini kemungkinan besar terjadi karena perbedaan kepadatan penduduk antara kota dan kabupaten di Jabodetabek dengan kota dan kabupaten di Gerbangkertosusila.
Kota Surabaya hanya dihuni oleh 8.802 jiwa per kilometer persegi, hampir setara dengan kota paling rendah kepadatan penduduknya di Jabodetabek, yakni Kota Bogor yang dihuni 8.802 jiwa per kilometer persegi. Tak aneh jika tren pasar properti di Surabaya sepanjang pandemi COVID-19 mirip dengan Kota Bogor. Harga apartemen di Kota Bogor jauh lebih berkembang ketimbang rumah tapaknya.
Harga apartemen di Kota Bogor per kuartal kedua 2021 mengalami kenaikan sebesar 10,76 persen secara tahunan (year-on-year/YoY), sementara harga rumah tapak di Kota Bogor pada kuartal yang sama hanya naik sebesar 2,25 persen dibanding tahun sebelumnya (YoY).
Dengan begitu, tren serupa juga sedang dialami oleh properti di Surabaya. Apartemen tengah menjadi favorit, sedangkan rumah tapak masih berkembang meski lebih lambat.
Mau cari rumah, ruko, apartemen, atau investasi properti? Pahami potensi wilayahnya mulai dari fasilitas, infrastruktur, hingga pergerakan tren harganya lewat AreaInsider.
Hanya Rumah.com yang percaya Anda semua bisa punya rumah