Cerita Rumah Hilma: Dari Jambi Cari Rumah di Jogja, Cara Bayar Cash Jadi Senjata

Wahyu Ardiyanto
Cerita Rumah Hilma: Dari Jambi Cari Rumah di Jogja, Cara Bayar Cash Jadi Senjata
Suasana Yogyakarta memang sering dirindukan oleh banyak orang, tenang, asri, dan jauh dari kata bising. Hal inilah yang diimpikan oleh Hilma Asyia dan sang suami, Suryawan. Itu sebab, setelah lelah berpindah-pindah, mulai dari Jakarta, Sumatera, hingga Kalimantan, keinginan untuk menetap dan punya tempat tinggal untuk masa pensiun nanti dijatuhkan di Yogyakarta.
Namun, proses mencari rumah pun tak bisa konstan dilakukan Hilma mengingat saat itu masih tinggal di Jambi, Sumatera Selatan. Mencari rumah sesuai bujet dan kebutuhan akan fungsi ruang pun jadi sulit dilakukan. Apalagi Hilma sama sekali belum pernah tinggal di Yogyakarta.
Berbekal tekad bulat untuk tinggal di daerah istimewa ini, akhirnya Hilma bisa punya rumah yang nyaman di wilayah Sleman, Yogyakarta. Sebuah rumah yang asri dengan luas tanah 230 meter persegi dan luas bangunan 170 meter persegi yang diabadikannya lewat akun Instagram @rumahpojok_88.
Mau punya rumah di daerah Sleman, Yogyakarta, yang dekat dan punya akses mudah ke pusat kota dengan bonus pemandangan sawah seperti rumah Hilma? Temukan pilihan rumahnya di sini!

Cerita Rumah Hilma: Asli Bali, Awal Menikah Tinggal di Jakarta, Beli Rumah Pertama di Jambi

Cerita Rumah Hilma: Asli Bali, Awal Menikah Tinggal di Jakarta, Beli Rumah Pertama di Jambi
“Saya aslinya orang Bali, suami orang Aceh. Awal kita menikah tinggalnya malah di Jakarta ha ha ha,” ujar Hilma membuka perbincangan. “Kerja suami tapi pindah-pindah, ke Kalimantan, dan terakhir ke Sumatera sebelum kita menetap di Jogja ini.”
Hilma dan suami menetap di Jambi, Sumatera Selatan, selama hampir delapan tahun. Pada tahun 2012 ia membeli rumah klaster yang nyaman di perumahan Citraland, Jambi, dengan cara KPR. Karena masih asing dengan areanya, proses mencari rumah dibarengi pula dengan pencarian secara online.
“Karena buta area Jambi, kita cari informasi harga rumah, tapi sayangnya untuk info rumah dijual di area ini masih belum banyak. Dari artikel-artikel pada laman Panduan Properti di Rumah.com, kami jadi paham proses beli rumah itu seperti apa, kiat-kiatnya juga. Makanya suami memutuskan mencari perumahan dengan pengembang terpercaya agar aman,” papar Hilma.
Dengan tanah yang luas 175 meter persegi dan luas bangunan 80 meter persegi, bentuk rumah yang sudah seragam dari perumahan tersebut membuat Hilma kurang leluasa. Bentuk standar rumah dengan dua kamar bersisian mengapit kamar mandi serta letak dapur di bagian belakang.
“Saya suka bingung kalau ada tamu, kan kamarnya cuma dua, mau tidur di mana tamunya, ruangan juga sempit. Karena rumah itu di hook, sempat mikir mau nambah ruangan karena tanahnya masih luas, cuma setelah dipikir-pikir dari pada nambah-nambah lagi, kita nabung untuk beli tanah atau rumah lain saja deh,” jelas Hilma.

Cerita Rumah Hilma: Lelah Pindah-pindah, Rencanakan Bangun Rumah dan Beli Tanah di Jogja

Cerita Rumah Hilma: Lelah Pindah-pindah, Putuskan Bangun Rumah, Beli Tanah di Jogja
Pertimbangan Hilma tersebut memang cukup beralasan. Kemungkinan pekerjaan Surya akan dipindahtugaskan lagi juga membuat pasangan ini berpikir untuk memiliki rumah yang bisa dipakai untuk jangka panjang, rumah untuk masa depan. Lelah memang jika harus terus berpindah-pindah.
Mereka memimpikan sebuah rumah yang plong tanpa sekat, yang bisa menampung banyak orang saat saudara-saudara datang berkunjung dan menginap. Rumah yang bisa diatur sesuai fungsi yang menjadi kriteria sebuah rumah idaman Hilma dan Surya.
Berangkat dari hal ini mereka tambah mantap memutuskan untuk mencari sebidang tanah saja ketimbang rumah jadi yang terkadang layout ruangannya kurang sesuai dengan kebutuhan mereka. Tinggal menentukan lokasinya mau di mana.
“Kebetulan masih banyak keluarga dari ibu saya rumahnya di Jogja. Memang dulu itu kita sering ke Jogja, kok enak banget ya rasanya suasananya,” kata Hilma. Sambil terus menabung, Hilma juga terus membayangkan agar bisa beli rumah atau tanah di Yogyakarta.
Dari Jambi Hilma dan suami kadang menyempatkan mencari-cari dan melihat-lihat harga jual rumah juga tanah di Yogyakarta secara online seperti pada laman listing properti dijual di Rumah.com.

Cerita Rumah Hilma: Bikin Riset Harga, Dana Siap Langsung Survei ke Jogja

Cerita Rumah Hilma: Bikin Riset Harga, Dana Siap Langsung Survei ke Jogja
“Selama kita browsing lewat internet, ketemunya rumah-rumah baru yang harganya mahal banget! Kalau beli itu, kita nggak mampu untuk renovasi jika ada kebutuhan kita yang mau disesuaikan,” kata Hilma.
Berdasarkan riset kecil-kecilan, temuan Hilma, harga rumah baru di Yogyakarta dengan tipe standar kamar dua sudah diangka Rp700 jutaan. Harga tanah di tengah kota pasarannya Rp3 juta hingga Rp3,5 juta per meter perseginya. Hilma membayangkan untuk tanah seluas 200 meter persegi artinya sudah Rp600 jutaan. Lalu bagaimana ia bisa membangun rumahnya?
Akhirnya setelah dana tabungannya dirasa cukup, pada tahun 2018 Hilma berangkat ke Yogyakarta dengan niatan survei keliling ke pinggiran kota mencari-cari, siapa tahu ada tanah dijual yang tidak ia temukan dengan cara online.
“Kami berburu ke daerah Sleman. Waktu di Jogja kami juga sengaja beli koran Kedaulatan Rakyat dan menemukan iklan baris tanah dijual. Kebetulan juga areanya dekat dengan rumah salah satu saudara. Langsung saja kami datangi dan waktu itu masih berupa pekarangan bambu semua! Duh, gimana nih serem,” ujar Hilma.
Harga tanah di tengah kota Yogyakarta menurut Hilma sudah seperti harga tanah di Bali. Di kavling yang ia datangi di Sleman tersebut sudah dipecah dan dipatok menjadi 12 kavling. Meskipun ada rasa seram melihat deretan pohon bambu dan terlihat tidak ada prospeknya, tapi di samping-sampingnya sudah padat rumah penduduk.
“Kata suami, udah beli saja harganya juga tidak begitu mahal. Akhirnya kita kontak nomor telpon pengiklan yang ternyata makelar. Dari 12 kavling itu rata-rata luasnya 120 meter persegi namun kavling tanah di pojok luasnya 230 meter persegi. Kami memang mengincar yang di pojokan,” jelas Hilma.

Cerita Rumah Hilma: Strategi Negosiasi Bikin Bujet Rp200 Jutaan Dapat Tanah 230 Meter Persegi

Cerita Rumah Hilma: Strategi Negosiasi Bikin Bujet Rp200 Jutaan Dapat Tanah 230 Meter Persegi
Hilma menambahkan, “Kata makelar, kavling pojok sudah laku. Cuma kami ada rasa nggak percaya dan bertanya siapa pemilik tanah ini. Makelar tersebut kemudian mengantar kami ke rumah kepala dusun di dekat situ. Dan benar, kavling pojok memang ada yang minat tapi belum bayar DP rumahnya.”
Dari proses negosiasi langsung dengan kepala dusun, yang ternyata pemilik dari tanah kavling tersebut, Hilma menggunakan senjata akan membayar secara cash tanpa tempo. Apalagi tanah yang dipilihnya kan paling besar, dan akhirnya Hilma berhasil mendapatkan kavling yang diincarnya dengan harga Rp850 ribu per meter persegi.
“Memang bujet kamia sekitar Rp200 jutaan, jadi kita nego supaya bisa turun harganya. Dan dikabulkan. Jadinya kami dapat deh tanah seluas 230 meter persegi,” kata Hilma. Mereka senang karena kepala dusun tersebut orangnya sudah moderen. Hilma pun langsung mengajak ke notaris guna pengurusan legalitas.
Tanah kavling di pojokan ini memang termasuk pekarangan rumah, jadi lebih mudah untuk bisa dibeli orang dari luar Yogyakarta. Sekadar informasi, jika mengacu Perda DI Yogyakarta, sawah dilarang dibeli oleh orang dari luar Yogyakarta.
”Untuk seluruh urusan di notaris mulai dari biaya lain-lain hingga proses balik nama kami bayar Rp7 juta, sudah beres semuanya. Kepala dusun juga membayar PPh (Pajak Penghasilan) ke notaris,” jelas Hilma.
Ada pun dalam proses legalitas sertifikat tanah ini biaya-biaya tambahan yang ditanggung oleh pembeli adalah biaya PPAT, BPHTB, jasa pengecekan sertifikat, biaya balik nama, dan PNBP. Untuk komisi makelar ditanggung oleh penjual.

Cerita Rumah Hilma: Menabung 50 Persen dari Gaji agar Rumah Cepat Berdiri

Cerita Rumah Hilma: Menabung 50 Persen dari Gaji agar Rumah Cepat Berdiri
“Setelah urusan beres, kita kembali ke Jambi. Urusan lain-lain yang belum selesai kami titip ke kepala dusun. kita percaya saja dan terima beres. Bahkan kepala dusun tersebut yang menguruskan pembuatan IMB (Izin Mendirikan Bangunan).
Karena tidak ingin memiliki cicilan apapun, Hilma dan Surya kemudian menabung keras untuk biaya pembangunan rumah mereka kelak. Bahkan dari penghasilan setiap bulan, mereka menabung hingga 50 persennya.
“Waktu itu kami merunut bujet satu-satu, sebenarnya kebutuhan rutin setiap bulannya berapa. Semua kita tulis angkanya, mulai dari listrik, kebutuhan belanja pokok untuk makan, bensin, pulsa semua harus cukup dari 50 persen penghasilan kami. Kalau mau beli sesuatu di luar itu kami juga tahan dulu,” ujar Hilma.
Mereka menargetkan punya dana untuk bangun rumah sekitar Rp350 juta. Angka ini diambil dari asumsi biaya bangun rumah per meter perseginya sekitar Rp3,5 juta, saat mencari informasi tentang biaya bangun rumah dari laman Panduan Properti di Rumah.com.
“Kisaran biaya bangun rumah ini juga kita konfirmasikan dengan tukang-tukang dan pemborong di Jogja, bertanya juga ke beberapa perumahan juga. Memang angka segitu sudah standar,” kata Hilma.
Walau tanah yang sudah dibeli luasnya 230 meter persegi, tetapi agar pembangunan bisa cepat terlaksana Hilma dan Surya memilih konsep rumah tumbuh. Target pembangunan rumah di awal paling tidak 100 meter persegi dulu dengan bujet yang sedang mereka tabung ini.

Cerita Rumah Hilma: Pindah ke Jogja, Mengontrak Rumah, Nyaris Jual Tanah

Cerita Rumah Hilma: Pindah ke Jogja, Mengontrak Rumah, Nyaris Jual Tanah
“Paling tidak dengan bangunan seluas 100 meter persegi itu udah bisa kami tempatin rumahnya. Jadi begitu tabungan kita mulai terkumpul lagi, nantinya kami bisa lanjutkan membangun tambahannya lagi,” jelas Hilma.
Kurang lebih dua tahun mereka giat mengumpulkan tabungannya, tepatnya hingga awal tahun 2020 sebelum terjadi pandemi COVID-19, mereka memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta karena Surya sudah harus dipindahtugaskan lagi. Rumah di Jambi pun dengan cepat sudah ada yang mengontrak.
Ketika mulai pindah ke Yogyakarta, pasangan yang dikaruniai satu anak lelaki ini langsung mengontrak rumah. Namun saat mengunjungi tanah kavling milik mereka tersebut, mereka agak terkejut karena dalam kurun waktu dua tahun di situ baru ada tiga rumah. Suasana masih terasa dingin dan sepi.
Temukan juga beragam tips, panduan, dan informasi mengenai pembelian rumah, KPR, pajak, hingga legalitas properti di Panduan Rumah.com
“Sempat lho kita iklanin mau jual tanah ini, soalnya kok merasa daerahnya belum jadi, kurang aman. Kita pasang iklan buka harga di Rp1,5 juta per meter persegi lalu ditawar Rp1,3 juta per meter persegi. Nyaris kami lepas, padahal kami sendiri juga bingung karena nggak ada tanah penggantinya. Eh untung akhirnya lockdown jadi orangnya nggak jadi beli,” kenang Hilma.
Akhirnya Hilma dan Surya tidak jadi menjual tanahnya dan melanjutkan rencana bangun rumah di masa pandemi. Saat itu tabungan bisa terus bertambah karena kegiatan terpusat di rumah saja.
Waktu lockdown ini dipergunakan Hilma untuk banyak mengumpulkan info-info penting terkait proses membangun rumah. Hitung punya hitung, setelah membaca artikel tentang biaya jasa arsitek dan kontraktor yang mana angkanya 10 persen dari total RAB, Hilma memutuskan tidak pakai jasa mereka.

Cerita Rumah Hilma: Bangun Rumah Sendiri Berbekal Aplikasi Planner 5D

Cerita Rumah Hilma: Bangun Rumah Sendiri Berbekal Aplikasi Planner 5D
“Saya sayang uangnya. Akhirnya saya browsing lagi dan mendownload aplikasi desain rumah namanya Planner 5D,” ujar Hilma. Jadi langkah awal Hilma adalah menggambar di kertas biasa, baru setelah itu mengubahnya ke desain 3D menggunakan aplikasi tersebut.
Selama tiga bulan Hilma dan Surya mendesain pakai aplikasi ini. Sangat membantu karena bisa langsung memilih furnitur dari beberapa merek yang ada sehingga ukurannya langsung sesuai. Setelah selesai, desain ini kemudian diserahkan kepada mandor yang sudah Hilma cari untuk membangun rumahnya.
“Mandor ini sudah mengerjakan beberapa perumahan, jadi bisa baca desain dan mengerti tentang jenis pondasi,” ujar Hilma. Tepat pada bulan September di mana kondisi lockdown sudah mulai longgar, proses pembangunan pun dimulai. Rencana pembangunan ini sekitar enam bulan.
“Yang cukup melegakan, saat kami mulai bangun rumah, kavling-kavling lainnya juga pada ikutan bangun rumah ha ha ha. Jadi kekhawatiran akan punya rumah di tengah hutan bambu hilang deh,” kata Hilma lega.
Ketika mulai proses bangun rumah, Surya yang bertugas di Batam tentu tidak bisa selalu berada menemani Hilma. Selain di Batam, kadang Surya juga harus berada di Jakarta. Total Hilma terjun langsung dalam proses mengurus pembangunan dan mencari material sendiri, kadang ditemani kakak yang tinggal di sana.

Cerita Rumah Hilma: Pasir Beli Langsung dari Merapi, Tukang Tak Sesuai Ekspektasi

Cerita Rumah Hilma: Pasir Beli Langsung dari Merapi, Tukang Tak Sesuai Ekspektasi
“Karena hemat, kendala pertama itu mencari materialnya. Bagaimana kita bisa beli dari tangan pertama supaya murah. Misalnya pasir beli langsung dari merapi, lalu besi-besi ulir saya mau cari dari perajin besi bukan dari toko bangunan,” jelas Hilma.
Dibandingkan kota lain, Hilma mengaku ongkos kerja di Yogyakarta lebih murah. Ia membandingkan dengan harga di Jambi yang pernah ia alami, di Yogyakarta saat itu biaya tukang harian Rp95 ribu per hari sementara di Jambi Rp120 ribu per hari. Untuk biaya jasa mandor sebesar 5 persen dari total keseluruhan biaya tukang.
“Jadi misalnya kita pakai 10 tukang, ya sudah 5 persennya saya setorkan langsung ke mandor,” jelas Hilma. Kendala berikutnya yang dialami Hilma, “Banyak,” ujarnya. Harapan ke tukang yang terlalu tinggi seringkali diluar ekspektasi, apalagi Hilma juga mengaku tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam membangun rumah.
Dari segi struktur dan pondasi ia mengaku puas, tetapi kendala ada di finishing. Sebagian tukang belum pernah mengerjakan teknik-teknik yang Hilma inginkan, jadinya gagal. Contohnya, tembok jadi bergelombang. Daripada membongkarnya dan keluar biaya lagi, Hilma mengambil solusi menutupinya dengan GRC.
Tahap awal rumah tumbuh ini adalah bangunan rumah satu lantai dengan tiga kamar, satu kamar dijadikan kamar untuk kerabat yang menginap. “Dari luar memang masih belum rapih, tapi di dalamnya sudah rapih semua,” ujarnya.
Untuk saat ini Hilma dan Surya merasa puas, karena berhasil memiliki rumah sesuai keinginan, plong, tanpa sekat, dan fungsional. Bonus pemandangan sawah yang hijau menghampar menambah suasana nyaman di rumah ini.

Cerita Rumah Hilma: Rumah Bergaya American Classic dengan Rooftop Menghadap Sawah

Cerita Rumah Hilma: Rumah Bergaya American Classic dengan Rooftop Menghadap Sawah
Untuk rencana rumah tumbuh selanjutnya sudah ada dalam bayangan Hilma dan Surya. Desain rumah bergaya American Classic ini memang Hilma dan Surya pilih karena suka dengan bentuk lotengnya. Sementara bagian dalam rumah mereka pilih gaya rumah Jepang yang simpel dan sesuai kepribadian mereka.
Agar fungsional, loteng berukuran 6x6m ini akan menjadi kamar tidur tambahan. Kekhawatiran akan terasa panas di atas membuat Hilma mencari tahu lewat internet dan menemukan alumunium isolator khusus untuk meredam panas. Selain itu cross ventilation turut membuat sirkulasi udara baik.
“Selain loteng, nantinya di lantai dua mau ditambah ruang olahraga, ruang karaoke, dan balkon besar dengan rooftop supaya bisa lihat langsung ke sawah,” jelas Hilma. Saat ini pembangunan sedang berhenti, tarik napas dulu sebelum menyelesaikan bagian atas rumah yang rencananya dalam beberapa bulan ke depan.
Hilma merasa lega dengan bujet bangun rumah yang disiapkan tidak melonjak keluar dari perkiraan awal. “Tapi kalau disuruh ngulang lagi, mendingan bayar arsitek deh ha ha ha, capek banget bangun sendiri. Nabung buat nambah biaya arsitek dan kontraktor saja, saya nggak sanggup kalau diulang,” ujar Hilma.
Selain lega, Hilma dan Surya juga cukup surprise karena pasaran harga tanah saat ini di lokasi mereka sudah melonjak hingga hampir 2 kali lipatnya. Beruntung dulu tidak jadi menjual tanah kavling tersebut.
“Setelah rumah selesai semua, kita baru mau urus sertifikat rumah SHM. Saat ini masih sertifikat tanah dan IMB yang kita pegang. Legalitas properti ini penting, jadi untuk SHM akan langsung kami urus setelah rumah selesai,” papar Hilma.
Itulah cerita perjuangan Hilma untuk menetap dan punya rumah di Jogja karena lelah hidup berpindah-pindah kota. Masih ada banyak lagi kisah seputar perjuangan mewujudkan mimpi punya rumah sendiri lainnya yang juga tak kalah menginspirasi. Temukan kisahnya hanya di Cerita Rumah.

Hanya Rumah.com yang percaya Anda semua bisa punya rumah

Teks: Erin Metasari, Foto: Agung Supri

Kalkulator KPR

Ketahui cicilan bulanan untuk hunian idaman Anda lewat Kalkulator KPR.

Kalkulator Keterjangkauan

Ketahui kemampuan mencicil Anda berdasarkan kondisi keuangan Anda saat ini.

Kalkulator Refinancing

Ketahui berapa yang bisa Anda hemat dengan melakukan refinancing untuk cicilan rumah Anda saat ini